Daftar Menu

11 November 2009

Memecat Tuhan

Tungul adalah seorang petani padi di sebuah desa pedalaman Kalimantan Barat. Hari ini ia berencana akan menjemur padi di atas pante(1) bambu di belakang rumah panggungnya. Ia lalu menghamparkan bide(2) dan segera mengatur bulir-bulir padi dengan merata, sambil berharap cuaca hari ini akan panas sampai padi-padinya kering dan siap untuk ditumbuk menjadi beras.

Apa mau dikata, beberapa saat kemudian gerimis mulai turun. Tungul menengadah ke langit. ”Tidak ada awan, gerimis pula. Huuuhhhh....” dengan menggerutu ia pun melipat bide beserta isinya lalu menutupinya dengan terpal. Ternyata gerimis itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat saja sudah berhenti dan cuaca panas lagi. Tungul tersenyum girang lalu membuka terpal yang menutupi bide dan padinya.

”Panaslah sepanas panasnya mentari... supaya padiku cepat kering” Celotehnya sambil meratakan padi-padi diatas bide. Setelah itu ia duduk di muka pintu yang menghubungkan pante dengan rumahnya sambil menikmati secangkir kopi dan sepiring singkong rebus. Nikmat sekali nampaknya sampai ia terngantuk-ngantuk. Kalau saja tidak ada ayam-ayam yang mencoba mencuri padi-padinya mungkin saja Tungul sudah tertidur.

Namun beberapa saat kemudian tiba-tiba gerimis kembali turun. Dengan penuh kesabaran Tungul kembali menutupi padi jemurannya dengan terpal. Selang beberapa saat langit kembali cerah dan Tungul pun melanjutkan menjemur padinya.

”Huh... cuaca yang aneh” Tungul menggerutu sendirian.

Beberapa saat kemudian...

Brrrr..... Brrrr.....

Gerimis yang tadinya sudah berhenti datang lagi. Hal ini membuat Tungul benar-benar kesal. Kali ini ia tidak memperdulikan padi-padinya yang basah terkena hujan. Tungul masuk ke dalam rumah. Diambilnya senapan lantak lalu dibawanya ke pante. Dengan berteriak ia mengarahkan senjata tersebut ke atas.

“Kalau sudah bosan jadi Tuhan… berhenti saja…!!!”

”Duarrr.....!!!”

Suara senapan lantak memecah angkasa. Lalu bergemuruhlah petir dan guntur di langit. Hujan pun turun dengan derasnya. Menyeletuk dalam hati, Tungul mencoba menutupi padinya yang sudah basah.

”Tembakanku tidak meleset, buktinya Ia menangis sejadi-jadinya”

Sahabat... sepintas lalu cerita diatas hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur atau lelucon di warung kopi. Cerita-cerita seperti ini banyak berkembang di masyarakat kelas menengah ke bawah. Penulis juga lupa darimana mendapatkan cerita ini. Terlepas ini nyata atau tidak, setiap cerita yang dibuat pasti mempunyai makna tertentu untuk bisa dijadikan pelajaran berharga.

Kisah Tungul diatas barangkali sangat mirip dengan keadaan-keadaan kita saat ini. Dimana kita merasa ditinggalkan, merasa sendirian, sepertinya hidup ini tidak adil, yang terjadi tidak sesuai dengan yang direncanakan. Lalu mulailah mencari-cari penyebab (kalau tidak boleh disebut kambing hitam). Menyalahkan apa saja dan siapa saja yang penting bukan diri sendiri.

Sahabat... menerima dan mengakui diri sendiri dihadapan-Nya adalah jauh lebih baik daripada semuanya itu. Yang saya maksudkan bukanlah membenarkan diri, bukan memenangkan diri, dan bukan mengasihani diri sendiri. Kita akan selalu merasa salah kalau mencoba untuk serupa dengan dunia ini. Perbedaan bukan artinya satu sisi salah dan sisi lainnya adalah benar. Hukum benar dan salah hakikinya bukan manusia yang mengetahui.

Lihatlah pelangi... mempunyai banyak warna yang berbeda. Bisakah kita mengatakan salah satu, salah dua, atau salah tiga dari warna-warna tersebut salah? Pelangi akan sangat indah dengan warna-warnanya yang beragam.

Sebuah sinetron akan terasa garing jika tidak mempunyai peran antagonis untuk mengimbangi peran protagonis. Jika dunia ini adalah sandiwara, Sang Sutradara tentunya sudah menetapkan dan membagi-bagi peran tersebut dalam masing-masing pemainnya. Sutradara amatiran (yang mencontek -atau mencoba menjadi- Sang Sutradara) hanya akan menciptakan dua tokoh sentral; tokoh baik dan tokoh jahat. Tetapi Sang Sutradara mempunyai banyak tipe penokohan dalam ceritanya; tokoh yang murni jahat, tokoh yang terjebak menjadi jahat, tokoh yang dipaksa menjadi jahat, tokoh yang tidak tahu dirinya jahat, dan tokoh yang pura-pura jahat; dan sebaliknya.

Sahabat… tidak ada gunanya memaksa orang lain menjadi sama dengan diri kita. Tidak ada gunanya mengatakan orang lain salah dan kita benar sebelum kita bisa membuktikan bahwa kita memanglah yang paling benar. Apalagi dengan cara-cara pintas; dengan intimidasi misalnya. Jika orientasi sahabat adalah akherat (surga dan neraka), pastikan dahulu sahabat diterima disalah satu tempat tersebut lalu ajaklah sahabat lainnya untuk merasakan nikmat yang sama.

Penulis percaya sahabat sekalian adalah orang-orang yang sangat takut akan Tuhan. Tapi penulis sangat meragukan dengan hal tersebut sahabat sekalian telah melakukan hal yang membuat orang lain juga takut akan Tuhan.
Marilah kita menerima semua perbedaan yang ada untuk membuat dunia ini lebih indah.

(1) Dayak Kanayatn; sebuah panggung tanpa atap yang biasa digunakan masyarakat tradisional dayak untuk menjemur padi dan sebagainya.
(2) Dayak Kanayatn; tikar rotan yang dianyam bersama dengan serat kayu khusus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar